Tampilkan postingan dengan label Pengadilan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pengadilan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 15 November 2012

Pengadilan Hubungan Industrial Rawan Suap

 Imas Dianasari, hakim ad-hoc Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri (PN) Bandung tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis (30/6) malam di Rumah Makan Ponyo, Cinunuk, Kabupaten Bandung.
 Hakim Imas adalah hakim ad-hoc gelombang pertama yang diangkat pada Tahun 2006 dengan masa jabatan 5(lima) tahun setelah lulus seleksi yang dilakukan oleh Kemenakertrans dan Mahkamah Agung. Saat itu, calon hakim ad-hoc tidak mengetahui berapa upah atau tunjangan yang akan diterimanya. Bahkan setelah terpilih, Tahun 2006, hakim ad-hoc hanya mendapatkan pinjaman dan terpaksa berhutang.

 Tunjangan baru diterima setelah Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono pada 7 Desember 2006 mengeluarkan PP No 96, yang menetapkan hakim Ad-hoc PHI di tingkat pengadilan negeri mendapat tunjangan sebesar Rp 3,75 juta, dan pada tingkat kasasi sebesar Rp 7,5 juta dipotong Pajak 15%. Nilai terendah untuk jabatan seorang hakim di Indonesia dan tanpa ada jaminan kesehatan. Ironis!. PHI dibentuk sekedar kejar tayang tanpa persiapan yang matang baik dari SDM, lokasi dan kondisi fisik PHI serta fasilitas operasional yang memadai.

Ada 33 PHI yang tersebar di setiap Ibukota Propinsi. PHI Jakarta, PHI Bandung dan PHI Surabaya tercatat menangani ratusan perkara dengan jumlah hakim yang tidak sebanding. PHI Jakarta contohnya, setiap bulan menerima 30 perkara baru. Sementara di tingkat MA, hanya memiliki delapan Hakim adhoc untuk menangani 400 perkara setiap tahunnya. Menumpuknya beban kerja menjadi salah satu pintu masuk terjadinya ‘transaksi’ perkara yang akan diputus. Hakim karir-pun tidak dapat fokus pada sengketa yang ditangani. Selain keterbatasan pengetahuan di bidang ketenagakerjaan, hakim karir juga memeriksa dan mengadili perkara pidana dan perdata. Kondisi inilah yang membuat hakim karir menyerahkan kontruksi putusan kepada hakim adhoc. Disinilah, hakim Imas dan hakim-hakim nakal menjadi powerfull.

PHI sudah enam tahun berjalan tetapi MA atau PN belum pernah membuat job description tertulis dan evaluasi kinerja hakim ad-hoc. Pembuatan Job description yang jelas untuk menguraikan tugas dan/atau kode etik khusus hakim ad-hoc akan menjadi langkah baik menuju perbaikan kualitas dan pengawasan hakim ad-hoc.

Kondisi fisik dan sarana di PHI tidak mendukung terciptanya proses persidangan yang ideal. PHI tidak menyediakan fasilitas kerja untuk hakim seperti komputer dan printer. Akhirnya hakim ad-hoc hanya ’ngantor’ pada hari persidangan dan merancang putusan dirumah dengan membawa pulang berkas-berkas perkara. Ruang sidang tanpa fasilitas pengeras suara dan alat rekam. Akibatnya, banyak pertimbangan hukum yang berbeda dengan keterangan saksi atau putusan yang dibacakan berbeda dengan salinan putusan.

Imas dan hakim-hakim nakal lain, biasanya ’bermain’ pada perkara PHK massal atau sengketa yang bersifat massal atau perkara individu namun dengan nilai gugatan sangat besar.

Kewajiban yang diatur dalam UU No 2 Tahun 2004 Pasal 83 ayat (2) yang isinya ”Hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan dan bila terdapat kekurangan, hakim meminta penggugat untuk menyempurnakan gugatan” tidak dijalankan.

 Proses persidangan dibiarkan terus berjalan dan selanjutnya dalam putusan akhir dinyatakan gugatan tidak dapat diterima atau ditolak. Tidak aneh jika ratusan buruh Great River mengamuk dan mengejar majelis hakim yang terpaksa menyelamatkan diri melalui plafon gedung pada sengketa di PHI Jakarta, Maret 2007. Bahkan kerap terjadi, hakim nakal mencari-cari kelemahan yang ada dalam surat kuasa, gugatan atau alat bukti. Walaupun pihak lawan tidak mengajukan eksepsi.

Di persidangan, keberpihakan majelis hakim akan terlihat dengan telanjang. Hakim karir nakal sebagai ketua majelis atau hakim adhoc selalu memotong pertanyaan dari pihak pekerja kepada saksi yang keterangannya akan merugikan pihak pengusaha/pemberi kerja. Tindakan lain adalah mengusir atau menegur saksi ahli yang keterangannya menguntungkan pekerja sebagaimana perkara PHK Indosiar nomor 114/PHI.G/2010/PN.JKT.PST di PHI Jakarta Pusat dan PHK Hotel Papandayan nomor 38/G/2010/PHI.PN.BDG di PHI Bandung. Bahkan penulis, menyaksikan langsung tindakan hakim ketua yang mengebrak meja di PHI Jakarta pada Maret 2011 untuk membuat shock kuasa hukum pihak pekerja.

Indikasi kenakalan lainnya dapat dilihat dari nilai gugatan yang diputus. Jika pada tingkat bipartite atau mediasi, pihak pengusaha atau pemberi kerja sudah setuju memberikan kompensasi sebanyak 2 (dua) kali ketentuan UU Ketenagakerjaan (2 PMTK) kepada pihak pekerja namun setelah masuk ke PHI, kompensasinya dikurangi menjadi 1 PMTK saja. Faktor pengurang inilah yang menjadi ’jatah’ untuk hakim tersebut. Kondisi inilah yang memaksa pekerja atau serikat pekerja melakukan aksi unjuk rasa pada setiap persidangan di PHI sebagai alat penekan agar majelis hakim tidak mempermainkan nasibnya mengingat buruh tidak memiliki kemampuan melakukan penyuapan.

Sejak PHI bergulir, belum ada perkara PHK massal yang menghukum pengusaha/pemberi kerja mempekerjakan kembali para pekerja walau perusahaan tidak tutup. Putusan bekerja kembali di tingkat PHI akan dipatahkan pada tingkat kasasi.

PT Onamba Indonesia menyuap hakim Imas dengan maksud agar MA mengukuhkan putusan PHI Bandung yang dibuat olehnya. PT Onamba Indonesia dan perusahaan lain sangat berkepentingan agar PHK dikabulkan. Sebagian hakim berpendapat ada kepentingan yang lebih besar untuk kelangsungan usaha perusahaan dan negara. Nasib buruh selalu dinomorduakan walaupun buruh yang bersangkutan tidak melakukan kesalahan apapun.

PHK massal biasanya terjadi pada sektor manufaktur atau jasa dengan upah rendah seperti hotel dan restoran yang setara dengan upah minimum. Secara individu, pesangon yang diterima pekerja dengan masa kerja 20 tahun memang kecil yaitu kisaran Rp 25 juta sampai 35 juta rupiah dengan perhitungan 2 PMTK atau senilai Rp 15juta-25juta untuk 1 PMTK. Namun jumlahnya akan sangat besar jika PHK secara massal.

Uang suap senilai Rp 200 juta yang diterima oleh Hakim Imas hanya uang muka untuk ’operasional’ perkara di tingkat kasasi. Akan ada succes fee dengan jumlah yang lebih besar setelah Imas dan hakim kasasi melakukan tugasnya dengan sempurna. Hakim Imas mungkin berfikir, inilah cara dirinya ’menabung’ atas suramnya masa depan. Tidak ada pesangon atau pensiun setelah masa jabatannya berakhir atau di-recall oleh Apindo sebagai lembaga yang mengusungnya. Sama seperti hakim adhoc dari unsur serikat pekerja.

Hakim Imas Dianasari adalah potret hakim adhoc PHI yang bekerja pada system dan fasilitas yang carut-marut. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan. Perbaikan remunerasi, pembuatan job description tertulis, evaluasi dan pengawasan hakim ad-hoc agar disegerakan. Kini saatnya, PHI berbenah agar kembali pada amanat pembentukannya yaitu menjamin penyelesaian hubungan industrial yang cepat, tepat, adil dan murah. Bukan menjadi KUBURAN keadilan bagi buruh!

http://buruhbekasibergerak.blogspot.com/2012/08/phi-rawan-suap.html
Posted by: Dreamer WARTA PEKERJA Updated at: 14.08